Prospek Cerah Budidaya Sidat - Saraswati Update - Budidaya Sidat Masih Sepi Peminat - Secara alami negeri ini surga bagi sidat berkembangbiak. Selama sidat belum dapat dipijahkan di kolam budidaya, maka Indonesia diuntungkan.
Dalam beberapa tahun terakhir ikan sidat asal beberapa negara produsen seperti Jepang (jenis Anguilla japonica) dan Eropa (jenis Anguilla anguilla danAnguilla rostrata) produksinya terus merosot. Penurunan ini disebabkan antara lain karena konsumsi berlebih, sementara benih yang dikembangkan masih mengandalkan hasil tangkapan alam yang sangat terpengaruh oleh perubahan iklim global. Sampai hari ini, teknologi budidaya belum berhasil memijahkan ikan sidat di kolam-kolam budidaya.
Fakta ini tak urung membuat dunia mulai mengalihkan minatnya ke sidat asal daerah tropik. Dan sidat asal Indonesia adalah salah satu yang banyak diburu untuk mengisi pasokan. Indonesia, memiliki potensi dan keragaman jenis ikan sidat yang tinggi. Dari 18 spesies sidat di dunia, 12 spesies diantaranya terdapat didaerah perairan Indonesia seperti pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Sumber: trobos.com |
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor PER.19/MEN/2012, jelas menyebutkan larangan bagi siapapun membawa sidat yang berukuran kurang dari atau sama dengan 150 gram per ekor, keluar dari wilayah negara Republik Indonesia. Tujuannya, melindungi sumber daya benih sidat nasional agar tidak terkuras, serta mendorong budidaya pembesaran dikembangkan di dalam negeri, sehingga menggerakkan perekonomian masyarakat.
Dijabarkan oleh Direktur Perbenihan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), Dwika Herdikiawan permen larangan ekspor benih yang terbaru ini mempermudah pengawasan pihak karantina dalam mencegah ekspor ilegal benih sidat. Sebelumnya pengaturan larangan bersifat 3 dimensi, ukuran panjang sampai 35 cm dan/atau berat sampai 100 gram per ekor dan/atau berdiameter 2,5 cm. “Tapi sekarang cukup dengan menyebut dilarang mengekspor ukuran kurang atau sama dengan 150 gram,” tegasnya. Artinya benih ukuran glass eel (0,17 gram), elfer (3 gram) maupun finger ling (20 gram), haram hukumnya di perdagangkan ke luar negeri.
Ekspor Benih Ilegal
Faktanya, benih sidat terutama ukuran glass eel banyak dijual ke luar negeri tanpa dokumen resmi. Dikatakan Ishitani yang rutin menyerap benih dari para penangkap benih, ekspor ilegal telah memicu lonjakan harga benih sidat di pasar dalam negeri. Harga benih yang 3 tahun lalu hanya Rp 300 – 400 ribu per kg, kini mencapai Rp 1,5 juta per kilogramnya. “Pasalnya pelaku ekspor ilegal berani menawar lebih tinggi kepada penangkap benih. Kita harus berani membeli dengan harga tinggi juga. Kalau tidak, tidak akan dapat benih,” ujarnya. Ia menambahkan, di Jepang benih dibanderol sampai Rp 200 juta per kg.
Nur Kholik, pelaku pembesaran benih (pendederan) sidat asal Bogor, Jawa Barat, membenarkan pasokan sidat dunia menurun jauh akibat susutnya benih, terutama jenis Anguilla japonica asal Jepang. Sementara, benih Anguilla spp di Indonesia masih berlimpah dan pemanfaatannya melalui budidaya yang intensif dan pengolahan produk oleh pelaku dalam negeri masih terbatas sekali. ”Inilah yang memicu pencurian benih sidat dari wilayah Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan industri budidaya dan industri pengolahan sidat di beberapa negara,” jelasnya. Ekspor ilegal benih terjadi karena iming-iming harga yang sangat tinggi.
Nur Kholik menyebut indikasi adanya pengiriman benih Anguilla spp yang mengisi pasar China, Taiwan, Hongkong, Korea dan Jepang. Karena itu ia memberi saran, perlu ada pengaturan secara komprehensif untuk izin pengeluaran benih sidat Anguilla spp dari wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) melalui pembatasan jumlah (kuota) dan jangka waktu tertentu. “Ditambah perhitungan yang matang untuk mempercepat akselerasi pengembangan industri budidaya dan pengolahan sidat,” imbuh dia.
Menanggapi ini, Dwika mengakui pihaknya mendapat informasi adanya ekspor benih sidat dengan modus operandi dicampur bersama pengiriman ikan hias. Meski tak menampik pernah satu kali menemukan kasusnya, Dwika berdalih diperlukan pembuktian yang lebih dalam lagi.
Sulitnya Pakan Sidat
Ketersediaan benih yang melimpah seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mengembangkan budidaya di dalam negeri. Belum berkembangnya usaha budidaya sidat dalam negeri bukan tanpa sebab. Salah satu yang utama adalah belum tersedianya pakan khusus ikan sidat.
Diungkapkan Kholik, pakan buatan (pellet) dalam negeri yang khusus untuk sidat belum ada, sehingga selama ini pembudidaya menggunakan pakan ikan kerapu (protein tinggi) untuk pembesaran. Sementara untuk skala industri, terutama perusahaan asing sebagian mendatangkan pakan dari Jepang, Taiwan atau China. “Pakan ini berbentuk tepung yang aplikasinya dicampur air, dan diberikan berupa pasta. Atau impor dari Denmark berbentuk pellet dan crumble,“
Kholik memperkirakan pabrik pakan dalam negeri belum memproduksi pakan sidat karena keterbatasan teknologi (pakan berbentuk pasta) dan estimasi kebutuhan yang belum besar sehingga tidak ekonomis. Kata dia, ini harus menjadi perhatian semua stakeholder (pemangku kepentingan). Meliputi pembudidaya sidat (industri dan masyarakat pelaku usaha budidaya), pabrik pakan, Asosiasi Budidaya Sidat Indonesia (Sibusido) dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai regulator kebijakan dan fasilitator.
Ujang Kusnadi, Technical Service & Sales Aquafeed Operation PT Suri Tani Pemuka –salah satu pabrikan pakan ikan mengakui, pakan khusus sidat belum diproduksi oleh pabrikan lokal, karena proteinnya harus tinggi dan penggunanya masih sedikit. “Protein harus di kisaran 40 % - 50 %. Saat ini pembudidaya sidat menyiasati dengan menggunakan pakan udang,” jelasnya.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Aqua edisi 15 Januari -14 Februari 2013.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar